Miyamoto Mushashi


Dilahirkan di sebuah desa yang bernamaMiyamoto di tahun 1584, Musashi terlahir sebagai Munasai Takezo. Masa kanak-kanak Takezo tidaklah bahagia. Ia tidak akur dengan ayah kandungnya, Munasai Hirata seorang samurai pemilik tanah. Takezo selalu melontarkan kritik pedas terhadap seni bela diri ayahnya, hingga menyebabkan ketiak akuran diantara ayah dan anak ini. Situasi yang demikian membuat Takezo kabur memilih meninggalkan rumah untuk hidup bersama pamannya yang saat itu usianya belum mencapai 13 tahun.

Tapi di usianya yang 13 tahun tersebut, Takezo sudah mampu menaklukkan seorang pendekar pedang Shito-ryu yang bernama Arima Kihei. Lawannya itu dirobohkan dan dipukulinya dengan tongkat hingga tewas. Kemudian pada usia 16 tahun, Takezo bertarung dengan seorang samurai tangguh dan kembali muncul sebagai pemenang. Mulai saat itu, Takezo memutuskan pergi bertualang mengikuti “Jalan Pedang”. Tak lama kemudian Takezo terlibat dalam perang habis-habisan antara kubu daimyo (tuan tanah) Ieyasu melawan klan Hideyori dengan para pengikutnya di pertempuran besar di Sekigahara.Dalam pertempuran selama tiga hari itu tercatat 70.000 orang tewas, Takezo sendiri di pihak pasukan yang kalah berhasil meloloskan diri.

Takezo kemudian bertemu dengan Soho Takuan, seorang pendeta Zen dengan kecerdikannya kemudian berhasil “menawan” Takezo di sebuah sel gelap di puri milik Ikeda. Di sana selama tiga tahun, Takezo ditahan untuk mendalami bertumpuk-tumpuk dan beragam buku. Mulai dari seni perang dari Sun Tzu, Taoisme, buku-buku mengenai Zen hingga ke berjilid-jilid kitab mengenai sejarah Jepang. Pendeta Takuan, selalu bersikap keras itu menasihati Takezo yang terkenal bandel dan liar itu hingga mau patuh menjalani penggemblengan berat tersebut. Salah satu nasehatnya adalah;

“Anggaplah kamar ini sebagai rahim ibumu dan bersiaplah untuk lahir kembali. Kalau kau melihatnya hanya dengan matamu, tak akan kau melihat apa-apa kecuali sel yang tak berlampu dan tertutup. Tapi pandanglah lebih saksama, lihatlah dengan akalmu dan berpikirlah. Kamar ini dapat menjadi sumber pencerahan, pancuran pengetahuan yang ditemukan dan diperkaya oleh orang-orang bijak di masa lalu. Terserah padamu, apakah kamar ini menjadi kamar kegelapan ataukah kamar penuh cahaya”.

Setelah melewati masa pembelajaran tiga tahun, Takezo mendapatkan pencerahan dan dibebaskan dan boleh berkelana lagi. Saat itu usianya 21 tahun, Takezo memulai kehidupannya kembali sebagai Miyamoto Musashi.

Dalam pengembaraannya Musashi kembali bertemu dengan lawan tarung yang bukan sembarang pendekar samurai, mereka adalah para pendekar samurai terkemuka dari berbagai aliran yang mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Musashi dapat mengatasi mereka satu per satu walaupun ia tidak mempunyai guru atau mewarisi ilmu pedang dari satu aliran tertentu. Ilmu pedang Musashi diperoleh secara otodidak dan bakat alami yang sangat istimewa yang diasah melalui kekuatan observasi, intuisinya dan disiplin yang kuat.

Beberapa duel yang dimenangkan oleh Musashi, banyak terdapat duel yang dianggapnya “main-main”, yaitu duel antara Musashi dan pemain pedang yang dianggapnya tidak seimbang, yang sering dimenangkannya tanpa mencabut pedang atau hanya membalas tebasan lawan dengan pukulan tangan yang tentunya tidak mematikan. Musashi meyakini, adalah sia-sia jika berduel dengan lawan yang kemampuannya jauh dibawah Musashi, lebih sia-sia lagi jika dia sampai membunuhnya. Karena boleh jadi seseorang yang tidak pandai bermain pedang adalah seseorang yang sangat pandai dengan bakat yang lain sehingga biarlah dia mengisi hidup ini dengan bakatnya yang lain yang belum ia temukan, yang mungkin bermanfaat bagi orang lain.

Pertarungan puncak bagi Musashi adalah saat menghadapi Sasaki Kojiro, saingan terberatnya yang masih muda dan sangat tangguh. Kojiro pada zaman itu sosok pemain pedang yang ideal: garis keturunannya tidak ada aib dan guru-gurunya ternama; dan dengan pelatihan yang penuh disiplin, ia berhasil menciptakan teknik permainan pedang yang mengagumkan. Tapi pada akhirnya kepala Kojiro pecah oleh tebasan pedang Musashi pada pertarungan di Pulau Ganryu, 13 April 1612.

Pertarungan Musashi melawan Sasaki Kojiro merupakan titik balik baginya. Sebelum itu, dia menyakini bahwa kemampuan seni berperang adalah kunci kemenangan dalam setiap pertarungan. Tetapi setelah mengalahkan Kojiro, Musashi menyadari bahwa kekuatan dan ketrampilan bukan satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menentukan kemenangan;

“Ketika umurku sudah lewat tiga puluh tahun dan merenungkan kembali hidupku, aku sadar bahwa aku menjadi pemenang bukan karena kemampuan luar biasa dalam seni bela diri. Mungkin saja aku mempunyai bakat alami atau tidak menyimpang dari prinsip alami. Atau, bisa jadikah seni bela diri lawan itu yang memang mengandung suatu cacat? Setelah itu, dengan tekad jauh lebih besar untuk mencapai pemahaman yang lebih jelas mengenai prinsip-prinsip yang dalam, aku berlatih siang malam”.

Lalu, apa yang memungkinkan Musashi mengalahkan Kojiro jika bukan karena penguasan ketrampilan bertarung? Bagi Musashi, kemenangan sebuah pertarungan terletak pada prinsip atau semangat, bukan tipuan dan ketidakjujuran. Di dalam Kitab Lima Lingkaran, Musashi menulis:

“Jalan seni adalah langsung dan benar, jadi kau harus dengan tegas berusaha mengejar orang-orang lain dan menundukkan mereka dengan prinsip-prinsip sejati”.

Setelah pertarungan itu Musashi memutuskan mundur dari pertarungan, karena rasa bersalahnya sampai membawa kematian lawannya. Musashi kemudian menetap di pulau Kyushu dan tidak pernah meninggalkannya lagi, untuk menyepi dan mencari pemahaman sejati dengan menapaki paruh kedua kehidupannya untuk menjadi seorang seniman dan menjadi terfokus untuk mendalami semua seni. Di masa tuanya Musashi dikenal sebagai seniman dengan banyak kebisaan. Melukis dengan tinta india, kaligrafi, hingga membuat patung. Lagi-lagi seperti kemampuannya bermain pedang, kematangan seninya pun diperolehnya dengan tanpa guru. Buah karyanya dianggap hidup dan indah, hasil dari penyaluran energi batin yang terfokus. Sepertinya kalau inti dasar kehidupan sudah diketahui, kerja yang lain juga dapat dipahami.

Dalam kehidupannya sebagai seorang seniman, ia menulis puisi, mendesain taman, aktif dalam upacara minum teh, mempelajari drama Noh, dan terutama menciptakan lukisan-lukisan tinta dan kaligrafi. Karya seni Musashi berkelas tinggi, menunjukkan bahwa di bidang ini ia juga berbakat istimewa sekalipun menurut pengakuannya lukisan dia belumlah setara dengan teknik pedangnya. Jelas ada upaya mempertautkan antara seni rupa dan seni bela diri, hingga dikatakan, Musashi melukis dengan pikiran pedang. Intens, terkonsentrasi, dan penuh getaran chi. Ia mempunyai keyakinan dan melihat adanya kesejajaran, seperti dalam ucapannya, Dengan prinsip-prinsip seni bela diri, orang membuka jalan bagi seni serta pencapaian lain dan tidak akan keliru memahami keduanya. Pedang, seni, Zen, dan meditasi menjadi satu kesatuan yang saling mengisi, menggenapi, dan karenanya tak terpisahkan.

Musashi juga kembali mendalami ajaran Zen yang nampak dari prinsip dasar satu ini, Musashi senantiasa menekankan mutlaknya memperoleh pengetahuan nyata lewat pengalaman langsung. Tidak dapat disangkal lagi, pengetahuan nyata lewat pengalaman langsung merupakan salah satu sendi utama yang dijunjung tinggi Zen, jauh di atas yang lain, misalnya teori. Juga ungkapan pikiran sehari-hari yang alami adalah khas Zen;

“Bebaskanlah pikiranmu, maka niscaya pikiranmu akan menjadi alami.”

Selain Zen, Musashi tampak sekali menghargai tetapi mempertanyakan ajaran Sun Tzu, yang merupakan ahli strategi terbesar sepanjang masa. Terdapat perbedaan pendapat menurut Musashi dan Sun Tzu, dimana Musashi lebih mengutamakan strategi permainan bersih-sekalipun keras dan tegas, tetapi tidak licik atau kotor, menyimpulkan;

“Berpikirlah dengan membuang semua ketidakjujuran.”

Musashi adalah seorang penyendiri, karena sampai akhir hayatnya ia memilih untuk hidup membujang, bahkan memilih jalan kematiannya sendiri. Menurut Musashi kematian adalah sebuah konsekwensi bagi setiap kehidupan. Karena itu saat menyadari bahwa maut akan segera mendatanginya, Musashimemilih Gua Reigan sebagai tempat tuk menyambut kematiannya dengan damai dan sendirian. Saat itu, awal musim semi tahun 1645, Musashi tidak lagi sebagai orang yang kuat, upaya pendakian bukit menuju ke gua itu dicapainya dengan tubuh sangat kesakitan. Suatu hari salah seorang mengirim tabib ke Gua itu, tetapi Musashi tetap berkeras untuk menyambut kematian dengan gayanya sendiri. Tak tega akan keadaan kesehatannya gurunya itu, sang murid kemudian berangkat kepegunungan, pura-pura berburu dengan burung rajawali, dan mampir ke Gua Reigan. Disana dia telah mendapati Musashi dalam kondisi yang sangat lemah dan dia tidak mampu melakukan perlawanan sedikitpun. Akhirnya, tanpa mempedulikan protes-protes Musashi, sang murid berhasil “membujuk” gurunya itu pulang ke rumah.

Dalam penyepian sebelum kematiannya itu Musashi berhasil menyelesaikan bukunya yang berjudul Kitab Lima Cincin (Go Rin no Sho) yang menunjukkan semua pencarian dan pencapaian spiritual serta jawabannya tentang bagaimana menemukan dan mengamalkan jalan.

Ada sembilan sila yang ditawarkan Musashi untuk kita semua :
  1. Berpikirlah dengan membuang semua ketidakjujuran.
  2. Bentuklah dirimu sendiri di jalan (yang benar).
  3. Pelajarilah semua seni.
  4. Pahamilah jalan semua pekerjaan.
  5. Pahamilah keunggulan dan kelemahan dari segala sesuatu.
  6. Kembangkan mata yang tajam dalam segala hal.
  7. Pahamilah apa yang tidak terlihat oleh mata.
  8. Berikan perhatian bahkan pada hal-hal terkecil sekalipun.
  9. Jangan melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak realistis.

Dalam 62 tahun, tanggal 19 Mei 1645, Musashi menutup mata untuk selamanya di komplek Puri Chiba yang tua. Seperti yang di pinta pada detik-detik terakhirnya, tubuhnya didandani dengan seragam dan helm tempur, dilengkapi dengan enam tanda kebesaran militer, dan ditempatkan dalam peti. Sesuai dengan janji sebelumnya, Musashi kemudian dikebumikan di Kyushu tempat penyepiannya yang terakhir. Setelah selesainya upacara pemakaman yang di pimpin oleh Biksu Kepala Shunzan, terdengar suara guntur bergema di langit yang cerah sebanyak satu kali. Dan entah adakah itu pertanda bahwa Musashi sedang bertarung melawan malaikat maut di sana? Atau sang maestro pedang itu kembali bertarung kembali melawan roh musuh-musuhnya di alam sana?

Kesimpulan :

1.Menemukan dan Menciptakan Jalan

”Jalan” dalam bahasa Cina disebut dengan “Tao” dan dalam bahasa Jepang disebut “Do”. Seperti halnya akhiran –do yang biasa ada di aliran-aliran bela diri seperti kendo, aikido, karate-do, dan lainnya. Itu menandakan bahwa bela diri tersebut bukan sekadar bela diri saja, tapi juga disiplin dan jalan hidup. Makanya rata-rata beladiri tersebut filosofinya sangat dalam. Akhiran –do banyak dipakai di bela diri yang juga menunjukkan cara hidup. Sering disebut hidup sesuai jalannya, akan mengantar pada kebahagiaan dan sebuah petunjuk untuk hidup yang benar.

Bagaimana caranya menemukan jalan? Jalan dapat ditemukan dengan meniru, mencari, dan menemukan. Tetapi jika memodifikasi dan mencampurnya dengan elemen diri, dan jadilah jalan kreasi kita. Musashi, yang tak punya guru dan tak pernah belajar secara khusus pada seorang guru pun, menempuh jalannya sendiri, juga ternyata terpengaruh oleh Sun Tzu, biksu Zen Takuan Soho, samurai hebat Yagyu Munenori, dan kitab hsinhsinming. Jadi, yang ditemukan Musashi (the book of five rings) sepertinya adalah campuran ajaran Zen dari Takuan dan kitab Hsinhsinming, seni perang Sun Tzu dan keahlian Yagyu, ditambah, diaduk-aduk, dieksperimenkan dengan keseluruhan pengalaman pribadinya.

Musashi sebenarnya lebih layak untuk disebut sebagai seorang otodidak. Musashi membimbing dirinya sendiri untuk mendalami berbagai macam ilmu. Salah satu sumber yang banyak ditimbanya niscaya adalah buah pikiran Sun Tzu.Dikenal sebagai ahli strategi besar-kalau bukan yang terbesar-Sun Tzu hidup hampir 2000 tahun mendahului Musashi (400-320 tahun sebelum Masehi);

“Saya suka berpikir betapa hebatnya orang-orang kuno seperti Lao Tse, Konfusius, Socrates, Sun Tzu, sementara kebanyakan dari kita yang hidup pada milenium ketiga ini cuma segini-gini saja.”

Kalau Musashi mendekati strategi melalui contoh-contoh dari tarung-tanding (duel), Sun Tzu lebih membahasnya lewat skenario peperangan. Ada beberapa kalimat dari kitab Seni Berperang (The Art of War) Sun Tzu yang amat membekas di hati Musashi. Selama tiga tahun dalam masa penempaan, Musashi kerap membacanya secara lantang berulang-ulang dengan alunan bagaikan nyanyian;

“Barangsiapa mengenal seni perang, tak akan serampangan ia dalam gerakannya. Ia kaya karsa dalam membatasi kemungkinan.”

“Barangsiapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah. Barangsiapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas segalanya.”

“Kenali musuhmu, kenali dirimu sendiri dan kemenanganmu tak akan terancam. Kenali medan, kenali iklim, maka kemenanganmu akan lengkap.”

Yang lebih menarik lagi, dalam kemampuannya untuk membaca waktu. Setelah mencapai usia 29 tahun, ia memutuskan untuk berhenti menjadi petarung. Kemudian Musashi mentransformasikan dirinya menjadi seniman dan pada usia yang lebih lanjut Musashi kembali memutuskan untuk menjadi pemikir mengenai Jalan Strategi. Keputusannya untuk pindah jalur dan beralih profesi pada saat yang tepat itu memang memerlukan ketajaman intuisi yang luar biasa. Agaknya, ini juga yang membuat Musashi menjadi petarung kehidupan yang tak terkalahkan. Musashi mengatur dan bukannya diatur oleh waktu kehidupan.

2.Keteguhan Hati Mengamalkan dan Menjaga Jalan

Memang lebih mudah untuk menjadi peka, menjadi arif dan penuh perenungan ketika kita dalam posisi yang penuh kesusahan dimana sendi-sendi harga diri kita dibenamkan dan segala kesombongan diruntuhkan. Mudah untuk memahami bentuk-bentuk pemikiran, perasaan, benda-benda dan penghargaan kita akan arti hidup itu sendiri. Mudah pula untuk menyadari akan kebeningan cita-cita.

Yang tidak mudah adalah untuk tetap konsisten pada pencapaian nurani tersebut. Tidak mudah untuk terus menjaga visi kita yang paling menggebu-gebu sekalipun. Perubahan lingkungan, kemudahan-kemudahan, orang-orang yang berbeda lambat laun dapat melunturkan pencapaian nurani. Pada prosesnya, akan muncul riak-riak yang mengganggu yang mengurangi kadar pemikiran dan tindakan kita.

Musashi pun mengalami naik turunnya semangat dalam mewujudkan jalan pedangnya. Cita-cita yang menjadi visi hidupnya. Musashi sempat terjebak dalam kesombongan sesaat ketika bertemu orang-orang yang terlihat lebih lemah. Jalan pedang seolah-olah menjadi jalan paling berarti dan dalam perjalanannya Musashi banyak mengabaikan unsur-unsur lain di luar dirinya. Musashi kemudian sadar dan berusaha membentuk jalan pedang dengan lurus-lurus pada keyakinan dirinya, menekan segala perasaan lembutnya dan satu hal yang menyelamatkannya dari bahaya keangkuhan adalah keinginannya untuk membuka pintu-pintu ilmu dan belajar dari segala macam orang, segala macam bentuk dan alam semesta.

Dalam kehidupan ini, bukan sekali kita merasakan naik turunnya iman, naik turunnya semangat baik dalam bekerja, menjaga hubungan, dan meraih mimpi-mimpi kita. Bukan sekali dua kali pula kita terjatuh dan kembali pada kebeningan pencapaian nurani. Terlalu dini untuk menyimpulkan jalan pencapain nurani, ada banyak visi dan lebih banyak konsistensi yang akan diperlukan.

Walaupun begitu, ada hal-hal menarik yang agaknya dapat dipelajari dari Musashi. Musashi adalah seorang yang sederhana, rendah hati yang bermain bersih tanpa kecurangan. Musashi keras hati dalam melatih diri dan dalam menimba ilmu berbagai aliran, karena Musashi menyadari bukannya tak mungkin terkalahkan. Musashi selalu menekankan pentingnya timing (ketepatan waktu) dan ritme dalam segala hal. Masuk terlalu cepat atau terlalu lambat dalam pertarungan dipandangnya dapat mengundang persoalan tersendiri. Kemudian perubahan yang terjadi di “langit” dan “bumi” bukan saja harus dicermati melainkan mesti pula diadaptasi untuk keselamatan diri. Juga baginya ilmu pengetahuan itu adalah sebuah “lingkaran bulat”. Artinya, kalau kita bermula dari titik A, setelah melingkar penuh kita akan kembali ke titik A semula. Apa yang dianggap paling elementer adalah juga pelajaran yang paling penting.

Sumber Bacaan:
1.Musashi, Eiji Yoshikawa, Gramedia – Jakarta
2.The Lone Samurai, William Scott Wilson, Gramedia – Jakarta
3.The Book of Five Rings, William Scott Wilson, Gramedia – Jakarta

by. lazuardism.blog.friendster.com
Miyamoto Mushashi Miyamoto Mushashi Reviewed by Edi Sugianto on 17.01 Rating: 5

Tidak ada komentar:


kelas Gendam Online
Diberdayakan oleh Blogger.