Manusia Bergerak Ke Arah Kesempurnaan 2

Tugas Manusia yang Paling Berharga
Yang paling penting dan yang paling berharga dari kewajiban manusia ialah pendidikan. Manusia menemukan nilai pendidikan sejak awal mula fajar keberadaannya. Untuk alasan yang sama ia meletakkan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tertentu yang sesuai bagi perkembangan lingkungan manusiawinya dan sebanding dengan persepsinya tentang kewajiban-kewajiban dan misinya dalam kehidupan, walaupun tujuan ini kadang-kadang benar dan kadang-kadang keliru.

Kita menyaksikan dengan jelas perubahan-perubahan yang mencengangkan yang timbul dalam perjalanan sejarah manusia oleh berbagai aliran pemikiran yang sama sekali mengubah wajah kehidupan. Kajian tentang realitas-realitas dunia menyampaikan kita kepada kesimpulan bahwa manusia tidak diciptakan jahat dan syaitani menurut wataknya. Apabila kita menerima bahwa manusia menurut bawaannya jahat, semua usaha untuk mendidiknya akan sia-sia, dan usaha semua nabi dan para pendidik dunia sia-sia saja. Sekiranya kejahatan, pembunuhan, dan kehancuran adalah watak bawaan penghuni Jazirah Arabia, mungkinkah Nabi saw menimbulkan revolusi menyeluruh seperti itu dalam ruhani para individu Arab dan mengubah watak mereka yang hakiki?

Benarlah bahwa manusia dikonfrontasi oleh kekuatan-kekuatan fisik yang mendorongnya pada tahap-tahap pertama kehidupannya. Sejak ia membuka matanya ke dunia ini, daya kemampuannya terwujud secara berangsur-angsur satu demi satu, dan dengan demikianlah ia memulai kegiatannya. Namun, pada saat yang sama, di samping kemampuan fisik, ia memiliki kapasitas dan potensi amat besar untuk perkembangan dan pertumbuhan spiritual. Ada kapasitas-kapasitas dan aspirasi yang lebih luhur daripada kebutuhan-kebutuhan yang laten dalam dirinya; dan energinya—sementara digunakan—dapat mengambil berbagai bentuk dan mengalir pada berbagai jalur, walaupun fase perkembangan spiritual pada umumnya baru dimulai sesudah fase pertumbuhan fisik.

Tetapi bagaimanapun, suatu proses yang alami dan spirasi-aspirasi manusia yang lebih tinggi mampu mengambil alih dan menggunakan energi-energinya yang lain untuk kepentingannya sendiri. Namun, untuk tujuan ini ia memerlukan bantuan, kepedulian dan bimbingan eksternal yang efektif. Karena tanpa bantuan itu aspirasi-aspirasi ini mungkin menderita penyimpangan atau misorientasi.

Tentu saja, bantuan eksternal seperti itu bukan sesuatu yang tak alami atau dipaksakan melainkan suatu bagian dari watak manusia. Hal itu serupa dengan menolong seorang anak belajar bicara walaupun ia mempunyai kemampuan alami untuk bicara sejak saat kelahirannya. Prinsip perkembangan manusia dan takdir manusia sebagai makhluk yang paling mulia digambarkan dalam Al-Qur'an dalam kata-kata berikut ini.

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. al-Insyiqaaq: 6)

Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (QS. an-Najm: 42)
Manusia, dalam rangka penerbangannya di cakrawala-cakrawala wujud menuju yang tak terbatas, harus menarik inspirasi dari ajaran para nabi, yang merupakan program pendidikan yang sejati dan menyeluruh. Ini perlu untuk melepaskan energi ilahi yang laten dalam dirinya dan yang diperlukannya supaya mampu mencapai tujuan akhir dari perkembangan, sukses dan kebebasannya.

Gustav Le Bon menulis,
Setelah usaha yang tak kenal lelah, falsafah menyadari bahwa ia tak dapat mencapai yang adikodrati. Dari itu kita terpaksa harus mengikuti resep para dokter ruhani yang mempunyai wawasan dalam hal-hal rumit tentang jiwa manusia dan dapat dipercayai untuk merawat perkembangan ruhaninya. Para dokter ruhani ini adalah nabi-nabi utusan Tuhan dan orang-orang suci yang mengusulkan resep-resep bagi kesejahteraan manusia, yang diterima dari sumber wahyu dan ilham, dan bertujuan untuk mencapai disiplin batin, yang dengan sarananya mereka dapat menolong dia mencapai kesempurnaan yang patut baginya.[7]

Al-Qur'an merujuk kedua aspek watak itu ketika menggambar-kan watak manusia. Ia menunjukkan bahwa apabila manusia gagal mendapatkan latihan mendasar, dorongan yang membadai dalam dirinya akan maju melemahkan kekuatan-kekuatan nalar dan kesadaran, dan menundukkan impuls-impuls lain di dalam jiwa, menggunakannya untuk maksud dan tujuannya sendiri. Oleh karena itu orang tak boleh mengabaikan kemampuannya untuk mengambil berbagai warna dan keperluan untuk membimbingnya pada arah yang pasti.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata,
Makhluk yang dianugerahi kemampuan aqliah memerlukan pendidikan, sebagaimana lahan pertanian memerlukan hujan.[8]

Apabila prinsip-prinsip pendidikan tidak didasarkan pada faktor-faktor yang mengatur, dan energi manusia dibiarkan dalam kebebasan liar, tidak diurus dan tidak disalurkan maka energi manusia itu akan selalu tunduk kepada kebutuhan-kebutuhan primer manusia. Itulah sebabnya maka watak dan perilaku manusia selalu memerlukan pendidikan formatif melalui pujian dan ganjaran serta teguran dan hukuman.

Al-Qur'an mengatakan,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams: 9-10)

Konsep tentang hukuman itu sendiri didasarkan pada kemam-puan fitriah manusia untuk membedakan antara baik dan buruk, dan pembebasan dari tanggung jawab mensyaratkan adanya uzur fisik atau mental dalam diri seseorang. Titik pandang yang dianut oleh sebagian trend pikiran modern yang membebaskan si penjahat dari tanggung jawab sebagai korban keburukan sosial atau pendidikan yang dekaden dan memandang si individu, walaupun ia mempunyai kemampuan fitriyah untuk membedakan, sebagai makhluk negatif yang tak berdaya, tak dapat dipandang sebagai kebenaran ilmiah. Tentu saja tak seorang pun dapat menyangkali peran besar pendidikan dan latihan atau mengabaikan tanggung jawab besar yang dipikul oleh masyarakat dan lingkungan; karena berbagai faktor itu berhubungan dengan pelaksanaan kejahatan ikut bertanggung jawab atasnya. Tetapi bagaimanapun, itu tidak berarti bahwa si penjahat tidak harus bertanggung jawab atasnya.

Tak diragukan bahwa sekelompok pelanggar terdiri dari orang-orang yang dapat diperbaiki melalui sedikit bimbingan dan peng-arahan. Mereka adalah korban penyakit spiritual, dan kejahatan mereka adalah produk dari kelainan jiwa tertentu yang tidak berakar mendalam. Atau, hal itu adalah akibat pergaulan dengan orang-orang jahat dan amoral. Orang-orang berpenyakit semacam ini harus dikenali dan diperlakukan sedini mungkin.

Pada umumnya kekerasan reaksi dan intensitas kampanye melawan kejahatan tak dapat dengan sendirinya mencabut akar-akar perilaku jahat. Hukuman yang dijatuhkan kepada si penjahat demi menyelamatkan kesejahteraan masyarakat dan individu diperlukan, karena sanksi-sanksi terhadapnya adalah hasil dan produk yang alami dari pemeliharaan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat serta keamaanan hidup masyarakat. Namun, hukuman saja tidak cukup, dan yang lebih penting ialah pendidikan kembali para penjahat supaya pendekatan mereka yang tak sehat kepada kehidupan dapat diubah melalui pelajaran yang berhasil baik, dan supaya semangat mereka yang melawan hukum dan agresif tidak menjangkiti orang lain dalam masyarakat.

Adakah Penjahat Bawaan?
Sekarang teori Lombroso dan para pengikutnya yang memper-cayai adanya penjahat bawaan telah ditolak para pakar di bidang itu. Sementara bekerja pada ketentaraan Itali, Lombrono melihat bahwa pembuatan tato sangat umum di kalangan penjahat. Dari situ ia menyimpulkan bahwa para penjahat mempunyai tingkat kepekaan jiwa yang lebih rendah daripada orang normal, dan bahwa kurangnya kepekaan moral mereka adalah pula akibat kurangnya kepekaan fisik itu. Di kemudian hari, sementara mengurai otak seorang perampok ia memperhatikan bahwa dalam segi-segi tertentu otak penjahat itu menyerupai otak hewan mamalia yang lebih rendah. Pengamatan itu merupakan penda-huluan teori tentang penampilan karakter yang merupakan warisan. Lombroso memandang ciri-ciri khas tertentu sebagai petunjuk temperamen seorang penjahat, yang sebagian darinya adalah: rambut keriting, mata juling, dagu menonjol ke depan, alis yang melengkung, kepala yang besar atau kecil secara abnormal, tulang pipi yang menonjol, kuping yang besar, tidak proporsionalnya ukuran tengkorak dan wajah, dan jidat yang memanjang ke belakang. Bila beberapa dari ciri-ciri ini terdapat pada seseorang, dapatlah ditegaskan dengan pasti watak kriminalnya, demikian menurut keyakinannya. Ia menamakan ciri-ciri khas ini "tanda-tanda dekadensi".

Ilmuwan Prancis, Dr. Alexis Carrel, mengatakan,
Penjahat bawaan temuan Lombroso tidak ada. Tetapi ada orang-orang yang berbawaan cacat yang menjadi penjahat. Dalam realitas, banyak penjahat adalah orang normal. Mereka sering lebih pandai daripada polisi dan hakim. Para sosiolog dan pekerja sosial tidak menemukannya dalam survei mereka di penjara. Para gangster yang bajingan, pahlawan film dan surat kabar, kadang-kadang menunjukkan kegiatan normal dan bahkan kegiatan-kegiatan mental yang emosional dan aestetis. Tetapi rasa moral mereka tidak berkembang. Ketidak-harmonisan dalam dunia kesadaran ini adalah suatu fenomena yang khas di masa kita. Kita telah berhasil memberikan kesehatan organik kepada para penduduk kota modern. Tetapi walaupun sejumlah besar uang telah dibiayakan bagi pendidikan, kita gagal mengembangkan secara utuh kegiatan intelektual dan moral mereka. Bahkan di kalangan penduduk elit, kesadaran sering kekurangan keharmonisan dan kekuatan. Fungsi-fungsi mendasar itu berserakan, kualitasnya buruk, intensitasnya rendah. Sebagian darinya mungkin sangat kurang.

Orang-orang yang paling berbahagia dan bermanfaat adalah orang-orang yang utuh keseluruhannya dalam kegiatan intelek-tual, moral dan organik. Kualitas kegiatan-kegiatan itu, dan keseimbangannya, memberikan kepada tipe orang semacam itu keunggulannya atas yang lain-lainnya. Intensitasnya menentukan tingkat sosial seseorang individu. Itu membuat dia menjadi pedagang atau direktur bank, seorang dokter sederhana atau profesor yang termasyhur, kepala desa atau presiden Amerika Serikat. Perkembangan manusia yang sempurna haruslah menjadi tujuan usaha kita. Hanya dengan para individu yang berkembang sempurna seperti itu dapat dibangun suatu peradaban yang sesungguhnya.[9]

Seorang psikolog masa kini menulis,
Sekarang telah ditegaskan dengan pasti secara ilmiah maupun filosofis, dan lepas dari segala keraguan, bahwa tak ada manusia 'jahat'; hanya ada manusia sakit. Kesadaran tentang hal ini demikian pentingnya sehingga dapat dikatakan tanpa melebih-lebihkan bahwa tak ada temuan di dunia sejak munculnya manusia hingga masa kini, dan tak akan pernah ada, suatu dampak yang sama pada kesejahteraan manusia. Yakni, ketika orang benar-benar menyadari kenyataan ini dan organisasi masyarakat serta lembaga-lembaga pengaturannya didasarkan pada kebenaran yang mapan ini, bagian besar dari penderitaan manusia, kehancuran, permusuhan, konflik dan hukuman manusia akan berkurang. Mengapa? Karena, bilamana setiap orang mengetahui, misalnya, bahwa kekikiran, cemburu, takut, kelicikan, prasangka, kecurangan, kelaliman, dan ratusan kejahatan seperti itu adalah akibat logis dari penyakit spiritual yang rentan terhadap perawatan tepat sebagaimana demam, sakit tenggorokan, diare dan sebagainya, akan menghasilkan dua hal yang sangat penting dan bermanfaat. Pertama, orang-orang yang sakit itu, yang sekarang dianggap 'jahat', akan mengusahakan perawatan dengan harapan penuh dan menjadi sehat dan menjadi manusia yang baik. Kedua, orang tidak akan memandang mereka dengan permusuhan dan rasa benci sebagai orang-orang 'jahat', melainkan sebagai orang sakityang patut mendapatkan simpati. Dan jelaslah bahwa ada suatu perbedaan besar antara kedua pandangan itu dan akibat-akibatnya.

Inilah prinsip yang sekarang diterapkan di kebanyakan sekolah di negara-negara beradab, dan bahkan di penjara-penjara, dan pendekatan ini secara berangsur-angsur mulai digunakan dengan hasil yang sangat bermanfaat. Adalah kewajiban para penulis humanis untuk berusaha sekuat-kuatnya menyiarkan kebenaran yang teramat bermanfaat ini supaya semua masyarakat sedunia beroleh manfaat darinya.[10]

Teori falsafah dan ilmiah ini, yang penemuannya telah diatributkan kepada dunia sains modern, telah bersejarah empat belas abad dalam nas-nas agama Islam. Al-Qur'an al-Karim merujuk kaum munafik sebagai orang berpenyakit dengki dan bermuka dua:

Ada penyakit dalam hati mereka. (QS. al-Baqarah: 10)

Sebagian moralis dan penganut agama-agama tertentu meman-dang watak fitriah manusia itu jahat dan berdosa.

John Dewey menulis,
"Berikan kepada anjing nama buruk lalu gantunglah dia."  Watak manusia adalah anjing dari para moralis profesional, dan akibat-akibatnya sesuai dengan peribahasa itu. Watak manusia telah dipandang dengan curiga, dengan rasa takut, dengan pandangan masam, kadang-kadang dengan gairah bagi kemungkinan-kemungkinannya tetapi hanya bilamana ditempatkan dalam kontras dengan aktualitas-aktualitasnya. Ia telah nampak berkecenderungan jahat sedemikian rupa sehingga urusan moralitas adalah memangkas dan memotong-nya; atau, dianggap lebih baik apabila ia dapat digantikan oleh sesuatu lainnya. Moralitas akan dianggap sangat berlebihan apabila tidak karena kelemahan bawaan, yang mendekati imoralitas, dari watak manusia. Beberapa penulis dengan konsepsi yang lebih ramah mengatributkan penghitaman itu kepada para teolog yang berpikir untuk menghormati yang ilahi dengan meremehkan yang manusiawi. Para teolog telah mengambil pandangan yang lebih suram tentang manusia ketimbang para ateis dan sekularis. Tetapi penjelasan ini tidak membawa kita jauh. Karena, bagaimanapun para teolog itu sendiri adalah manusia, dan mereka tidak akan berpengaruh apabila para manusia tidak menyambut mereka.[11]

Watak Manusia yang Suci dan Tak Berdosa

Nabi Muhammad saw berkata,
Setiap bayi dilahirkan dalam fitrah. Itu berarti bahwa manusia dilahirkan dalam watak yang murni dan tak berdosa. Orangtuanyalah yang membesarkannya sebagai orang Kristian atau Yahudi. Keyakinan agama orangtua serta cara berpikir mereka mempengaruhi pikiran si anak yang mudah menerima kesan.[12]

Imam Ali as berkata kepada putranya,
Hati yang muda adalah seperti tanah perawan yang meneri-ma setiap jenis benih yang ditaburkan padanya. Putraku, saya mengambil kesempatan yang diberikan oleh masa kanak-kanak saya untuk mendidik Anda, sebelum hati Anda yang mudah menerima kesan akan menjadi keras dan sebelum berbagai hal menempati pikiran Anda.[13]

Terlepas dari kenyataan bahwa manusia sama sekali tidak dilahirkan dengan kecenderungan jahat, ada suatu kekuatan yang laten dalam struktur batin setiap manusia yang menariknya kepada kebaikan. Kekuatan ini membuatnya kembali kepada keadaan aslinya bilamana ia berpisah dari orientasinya yang benar. Dalam idiom para filosof, bilamana suatu watak tertentu tunduk kepada sesuatu yang di luar dan merupakan kekuatan dari luar maka muncul suatu kecenderungan untuk kembali kepada keadaan aslinya.

Sejak zaman purba sekelompok filosof telah merasakan bahwa penalaran teoritis mewakili daya kemampuan jiwa manusia, walaupun kemampuannya untuk memahami terbatas dan kepastian dari keefektifan praktisnya tidak terlalu besar. Nalar teoritis tidak cukup dalam beberapa hal, seperti dalam menyampaikan penilaian yang adil, celaan kepada penjahat dan pendosa, dan resep dari suatu program yang dapat menjamin kebahagiaan manusia. Dari itu harus ada suatu kekuatan independen dalam diri manusia untuk membimbing dia kepada berbagai kebajikan, dan memban-tunya untuk berkorban dan mencari kesempurnaan dan yang menerangkan perilaku moralnya.

Al-Qur'an menegaskan bahwa kecenderungan kepada keimanan dan penolakan dari dosa dan kedurhakaan terdapat dalam watak manusia. Tuhan bukan saja menempatkan keimanan pada Sumber Penciptaan dalam watak manusia dan menganugerahinya kemam-puan untuk mengenal Tuhan, tetapi juga telah menciptakan suatu gaya tarik alami kepada kebajikan dan penolakan terhadap kejahatan, dosa dan kedurhakaan, sehingga jiwa secara tak sadar tertarik kepada kebajikan manusiawi.

...tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan... (QS. al-Hujuraat: 7)

Menurut pujangga besar Hafizh Syirazi (Iran), Cinta antara engkau dan aku ini, kubawa dari sana, bukan (baru) mengembangkannya di sini.

Bertrand Russel menulis,
Menurut gagasan lama, ialah bahwa kebajikan bergantung pada kemauan: kita dianggap penuh dengan hawa nafsu buruk yang kita kendalikan dengan daya kemauan yang abstrak.

Dianggap mustahil mencabut hasrat-hasrat hawa nafsu buruk: yang dapat kita lakukan hanyalah mengendalikannya. Situasi itu tepat ibarat penjahat dan polisi. Tak ada orang membayang-kan bahwa mungkin ada suatu masyarakat tanpa penjahat; paling-paling yang dapat dilakukan ialah mempunyai pasukan polisi yang demikian efisien sehingga kebanyakan manusia takut melakukan kejahatan, dan sedikit yang terkecuali itu akan ditangkap dan dihukum. Para kriminolog psikolog modern tidak puas dengan pandangan ini; mereka percaya bahwa dorongan kepada kejahatan, dalam kebanyakan kasus, dapat dicegah agar tidak berkembang, dengan pendidikan yang pantas. Dan apa yang berlaku bagi masyarakat berlaku pula bagi para individu.[14]

Emerson menulis,
Yang sederhana bukannya naik memasuki suatu kebajikan tertentu melainkan wilayah semua kebajikan. Mereka berada dalam semangat yang mengandung kesemuanya. Jiwa menuntut kesucian, tetapi kesucian bukanlah (jiwa) itu; ia menuntut keadilan, tetapi keadilan bukanlah dia; ia memerlukan kedermawanan, tetapi itu agak lebih baik; sehingga ada semacam penurunan dan penampungan yang terasa bilamana kita meninggalkan bicara tentang watak moral untuk mendorong suatu kebajikan yang dianjurkannya. Bagi si anak yang dilahir-kan dengan baik itu, semua kebajikan adalah alami, dan tidak diperoleh dengan susah payah. Bicaralah kepada hatinya, maka orang itu akan mendadak menjadi bajik.[15]

Oleh karena itu, menurut Islam maupun para pemikir realistis di dunia masa kini, manusia datang ke dunia dengan watak ruhani yang murni dan sehat sesuai dengan hukum keturunan. Kehadiran dosa dan kerusakan dalam dirinya adalah kebetulan dan datang dari luar ke wataknya yang asli. Adalah pelanggaran terhadap watak asli, atau penyimpangan dan kemunduran dari naluri yang bukan saja menjurus kepada timbulnya penyakit spiritual tetapi menghalangi arus alami dari ruhani melalui berbagai macam kompleks. Bila tidak demikian, ia mempunyai kemampuan untuk maju ke arah kesempurnaan dengan langkah-langkah cepat sesuai dengan gerak hatinya yang sejati.

Tentu saja pengaruh lingkungan tidak sama terhadap berbagai otak dengan berbagai susunan sarafnya, sama sebagaimana ling-kungan tidak mempunyai efek yang sama pada pertumbuhan berbagai tanaman dan tumbuhan. Setiap indwidu hidup dengan susunan sarafnya sendiri, yang diwarisinya sesuai dengan hukum warisan. Tak ada dua individu di dunia ini yang mempunyai struktur saraf yang identik; saraf-saraf manusia menunjukkan perbedaan dari sisi pandang fisiologis individu dan keserasian jasmani. Dari itu, sebagaimana suatu lingkungan khusus mem-pengaruhi setiap benih dan tanaman secara spesifik, demikian pula efek lingkungan pada saraf otak setiap orang secara spesifik, dalam pengertian bahwa kehidupan dalam suatu lingkungan tertentu membawa efek khusus pada setiap individu dan menghasilkan kepribadian khusus yang tak dapat dibandingkan dengan kepribadian individu lain. Bahkan dua anak dari orangtua yang sama, yang semestinya menunjukkan ciri-ciri khas tertentu yang sama karena warisan dan lingkungan yang sama, menunjukkan perbedaan yang mencengangkan dari sisi pandang sifat-sifat pribadi. Seruan para nabi didasarkan kepada watak bawaan manusia kepada tauhid (monoteisme) dan watak moral fitriahnya. Prindip-prinsip moral ini, bersama dengan akal pikiran, merupakan basis dasar pendidikan. Peran besar para nabi, yang mereka usahakan melalui misi dan ajaran mereka, ialah membangun kapasitas-kapasitas bawaan manusia yang tersembunyi dalam wataknya. Cahaya batin yang alami dapat menjadi redup karena kondisi-kondisi tertentu, keadaan dan berbagai faktor yang berkaitan dengan wujud manusia, tetapi watak sesungguhnya itu tak pernah terhapus. Fondasi-fondasi dari watak ini tetap aman dan stabil walaupun ada segala kesulitan dan halangan yang timbul dalam perjalanannya sepanjang sejarah. Pada akhirnya, penyim-pangan dari jalan alam tidak berhubungan dengan fitrah dan realitas manusia.

Dapatnya kita melakukan latihan, dan disiplin diri dengan mengandalkan watak manusiawi adalah suatu prinsip yang teramat sangat berarti. Tetapi kita pun tak boleh melupakan bahwa hawa nafsu yang garang dengan kekuatan destruktifnya dapat melemah-kan watak kita, dan apabila kita gagal menyalurkannya secara wajar dan menggunakannya secara imbang dan tak mampu mengendali-kan kelebih-lebihannya, kekuatan-kekuatan alami kita akan dilemahkan dan kita akan gagal memanfaatkan potensi yang diberikan oleh alam. Penciptaan keseimbangan hawa nafsu dan perilaku tergantung pada pengenalan tentang titik sedangnya, pada latihan, dan pada konstannya usaha dan pengorbanan.

Dalam hal ini Aristoteles berkata,
Jadi, bahwa kebajikan moral adalah suatu titik tengah, dalam pengertian suatu suatu titik tengah antara dua keburukan, yang satu adalah kelebih-lebihan, yang lainnya kekurangan, dan karakternya ialah membidik titik sasaran di antara keduanya. Maka menjadi baik bukanlah pekerjaan mudah. Karena, dalam setiap hal tidaklah mudah untuk mendapatkan titik tengahnya. Misalnya, mendapatkan titik tengah suatu bundaran tidaklah mudah bagi setiap orang, kecuali bagi yang mengetahui. Demikian pula, setiap orang dapat marah—itu mudah—atau mengeluarkan uang, tetapi memberikan kepada orang yang tepat, pada ukuran yang tepat, pada saat yang tepat, dengan motif yang tepat, tidak setiap orang dapat melakukannya, dan tidak mudah; karena itu maka kebaikan adalah langka, terpuji dan mulia.

Maka, orang yang membidik kepada yang tengah harus pertama-tama harus melepaskan diri dari apa yang lebih berten-tangan dengannya, seperti dinasihatkan Calypso, "Selamatkan dulu kapal itu dari ombak dan gelombang."

Dari antara eksrem-ekstrem itu, yang satu lebih besar mudaratnya, yang lainnya agak kurang. Karena membidik sasaran itu amat sukar maka sebagai kedua terbaik, kita harus mengambil yang paling sedikit keburukannya.

Tetapi, kita pun harus mempertimbangkan hal-hal ke arah mana kita sendiri mudah terbawa, karena sebagian dari kita cenderung kepada sesuatu, sebagian lagi kepada yang lain, dan ini akan dapat dikenali dari kegembiraan dan kepahitan yang kita rasakan. Kita harus menyeret diri kita menjauh ke ujung yang berlawanan, karena kita akan masuk ke dalam keadaan antara dengan menarik diri jauh-jauh dari kekeliruan, sebagaimana dilakukan orang dalam meluruskan tongkat yang bengkok.

Sekarang apabila segala sesuatu merupakan tekanan atau kesenangan, kita harus menjaga diri terhadapnya, karena kita tidak menilainya secara tak memihak. Maka perasaan kita tentang tekanan haruslah seperti perasaan orang tua-tua terhadap Helen, dan dalam segala keadaan mengulangi ucapan mereka, karena apabila kita abaikan perasaan senang yang sedemikian itu, kurang kemungkinan kita untuk tersesat. Maka dengan melakukan inilah (singkatnya) kita akan paling mampu membidik titik tengah itu.[16]

Latihan dan pertumbuhan spiritual harus menjadi tujuan tertinggi dalam kehidupan kita. Adalah kewajiban kita untuk membuka jendela hati dan pikiran kita untuk membiarkan masuknya kebajikan, kesalehan, cinta dan belas kasihan. Ini akan mencerahkan dan membersihkan hati kita, dan Pencipta Yang Mahaesa akan meridhai kita.

Kebanyakan manusia terkait dalam segala macam usaha dan mengamalkan penyangkalan diri agar mendapatkan sarana dan kesenangan hidup material dan terus bekerja keras hingga mati. Untuk tujuan ini mereka bahkan menyangkali diri sendiri terhadap kesenangan-kesenangan yang mereka cari dan yang mereka bayangkan sebagai sarana kebahagiaan itu. Mereka seharusnya mengetahui bahwa mereka telah tersesat dan telah meninggalkan jalan kebahagiaan dan keberhasilan yang sesung-guhnya. Orang tak dapat meraih kehidupan damai, bebas dari kecemasan, dengan mengejar kesenangan dan kegembiraan sesaat, atau dengan mengumpul sejumlah besar harta. Program semacam itu tidak memelihara atau mengembangkan kehidupan. Sebaliknya, itu segera mengeringkan sumber-sumber vital kehidupan dan menghancurkannya.

Orang yang mencari kebahagiaan dengan memburu kese-nangan tak akan mendapat apa-apa selain kecemasan dan keresah-an. Apabila kita gagal mengendalikan hawa nafsu pendurhaka dan kecenderungan kekanak-kanakan dalam diri kita, yang terus-menerus mengangkat kepalanya, dengan sarana akal dan kebijakan, hawa nafsu buruk itu akan menguasai kesadaran kita dan memperbudak kita. Semakin kita berhasil menaklukkan hawa nafsu dan hasrat-hasrat kita, makin dekat kita bergerak ke arah kebahagiaan. Singkatnya, semua kesengsaraan, penderitaan ketidakberdayaan kita, segala sesuatu yang mengabuti cakrawala kehidupan, adalah produk dari dominasi hawa nafsu atas diri kita.

Kebebasan dan Kendali
Dalam semua kasus semacam itu, pertanyaannya bukanlah harus memilih antara kebebasan dan perbudakan, melainkan antara dua jenis perbudakan. Dengan kata lain, bukannya kita harus menimbang-nimbang kebebasan terhadap perbudakan melainkan memilih antara dua jenis kebebasan. Manusia bebas memilih antara kebebasan yang manusiawi dan kebebasan yang hewani. Ikatan atau kekangan yang dapat ditcrapkan pada manusia adalah kebebasan keyakinan, moralitas dan kebajikan manusia. Ikatan yang khas bagi hewan adalah naluri dan dorongan yang tak terkendali. Orang yang menyerah kepada hasrat hawa nafsunya dan mengikutinya dengan taat tanpa mempedulikan akibatnya adalah orang yang telah memutuskan segala kendali manusiawi dan membebaskan dirinya dari ikatan agama, moralitas dan kemanusiaan. Ia orang yang telah gagal menolak godaan hawa nafsu dan melawan tekanan naluri. Pembebeasan dari segala sesuatu demi pemenuhan dorongan naluri bukanlah kebebasan yang sesungguhnya, karena dalam keadaan semacam itu manusia secara tidak sadar menafikan wujudnya sendiri. Maka nasib dan tujuan terakhirnya adalah kemerosotan dan kehancuran yang tak terelakkan.

Namun, manusia yang telah mengikat perjanjian dengan Tuhan dan tidak hendak melanggarnya dalam kehidupannya adalah orang yang bertekad menggunakan energi dan kemam-puannya pada jalan yang telah ditentukannya. Makin besar kekuatan keyakinannya, makin kuat ia dalam berpegang pada perjanjian itu. Ia mempunyai rasa kebebasan yang sesungguhnya dalam pertarungannya melawan tirani hawa nafsu. Yakni, ia bebas dari penindasan hawa nafsu dan melawan paksaannya. Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan usaha terhormat demi mencapai kebebasan dan menjadi suatu kekuatan aktif dalam dunia wujud, dan untuk melakukan pendakian ke kedudukan mulia yang patut baginya, ia tidak mau menerima logika apa pun yang melanggar kemanusiaannya yang sejati.

Bagian besar dari ajaran agama berkaitan dengan pengendalian dan moderasi hawa nafsu dan perkembangan dorongan-dorongan yang lebih tinggi, karena kekuatan apakah selain keimanan yang dapat mengendalikan naluri-naluri vital dan menjaga manusia dari penelewengan melalui kekuatan spiritualnya?

Rasa tanggung jawab batin adalah amat pendng untuk mencegah gangguan terhadap ketertiban masyarakat dan penyebaran kejahatan, dan memelihara masyarakat dari bencana agresi dan pelanggaran hukum. Imanlah yang merupakan sumber dari rasa tanggung jawab batin dan yang mempunyai kekuatan untuk mengendalikan perilaku, watak dan pemikiran manusia. Penciptaan keimanan kepada Tuhan di kalangan manusia, yang dianjurkan Islam sebagai basis pendidikan maupun basis reformasi sosial ekonomi dan sebagai sarana untuk mencegah kejahatan dan pelanggaran. Untuk itu Islam telah mengambil pula metode yang terbaik. Di satu sisi ia mengulurkan janji ganjaran tertinggi bagi yang berkebajikan, dan di sisi lain ia mengancam dengan hukuman yang paling berat terhadap orang yang menyerah kepada perilaku antimoral di bawah pengaruh hawa nafsu pendurhaka. Pendekatan itu mengakibatkan manusia maju dengan penuh gairah menuju kebajikan moral, dan takut akan hukuman membuat dia meng-elakkan keburukan dengan penuh tekad.

Kebiasaan serta Peran Konstruktif dan Destruktifnya
Aspek positif dan negatif dari kebiasaan memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia, maupun kerusakan dan kemerosotannya. Suatu kajian sejarah dapat mengungkapkan bahwa adatistiadat (yang pada hakikatnya terdiri dari kebiasan-kebiasaan kolektif) merupakan suatu faktor yang efektif dan penting dalam menentukan nasib umat manusia. Kekuatan sabar dan ketekunan spiritual dalam menghadapi kesulitan, kesukaran dan bencana, suatu resistensi alami terhadap aspek-aspek negatif peristiwa-peristiwa, dan kemampuan untuk mengatasi efek-efeknya, adalah hasil dari aspek-aspek positif warisan sosial.

Namun, keburukan yang timbul dari aspek-aspek negatif adat dan kebiasaan sangat luas, dan kehancurannya tak terpulihkan. Demikianlah, sebagaimana warisan memainkan peranan penting dalam membuat bencana dan aspek negatifnya menjadi tertang-gungkan, ia pun merupakan faktor yang kuat dari sisi pandang penghancurqan dampak positif dan bermanfaat dari kebenaran-kebenaran yang tak terbantah, pada ruhani manusia.

Adat kebiasaan warisan negatif menjadi penghalang di jalan pemahaman atas nilai sesungguhnya dari berbagai prinsip dan hukum mengenai dunia wujud dan ruhani, maupun pemahaman terhadap banyak gagasan yang bermanfaat dan mencerahkan. Adat kebiasaan negatif tidak mengizinkan manusia melihat kenyataan dengan pandangan yang jelas dan mengetahui maknanya. Untuk memahaminya, tidaklah perlu mengutip sejarah permasalahan ilmu pengetahuan yang halus dan mendalam. Bagian besar dari fenomena alam yang menakjubkan dan paling bermakna tetap tak diketahui selama berabad-abad karena pengenalan secara kebiasaan dengan karakter lahiriah dari hukum-hukum alam. Sangat sering terjadi bahwa sesaat renungan dan perhatian yang bertentangan dengan jalan adat istiadat ternyata sangat membawa hasil dalam membukajalan kemajuan bagi manusia.

Bahkan pengetahuan pun mungkin menghadapi halangan dan hadangan spiritual dan kehilangan nilainya, dan karenanya menjadi sama dengan kejahilan dari sisi pandang keefektifan. Hal itu disebabkan karena kebiasaan negatif menyebabkan distorsi dalam karakter dan menjadi hambatan di jalan keberhasilan pengetahuan pada level tindakan. Banyak orang terpelajar yang sama sekali terbelit dalam kebiasaan misterius yang dalam kehidupan tak mampu menerapkan pengetahuan dan pengertian mereka dalam karakter maupun perilakunya atau untuk memper-baiki karakter dan perilaku orang lain. Karena, dalam beberapa hal mereka tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menghen-tikan serangkaian peristiwa yang mereka yakini sebagai merugikan dan merusak. Kebutaan dan kelalaian ini adalah akibat dari kebiasaan intelektual yang menghasilkan resistensi kepada nalar dan pengetahuan dan mengancam pertumbuhan spiritual manusia.

Banyak pakar di kalangan para dokter yang memiliki penge-tahuan spesialisasi yang menonjol, tetapi yang pengetahuannya tidak berhasil membuat suatu kontribusi spiritual dan, pada tingkat amal perbuatan, tidak efektif dalam memperbaiki perilakunya dalam praktek. Dalam pandangan Islam, keutamaan tidak terbatas pada pengetahuan. Pengetahuan adalah sarana untuk memahami dan merupakan salah satu sarana yang hakiki bagi pertumbuhan spiritual. Tetapi, kecuali untuk memperkenalkan perbedaan pada tahap pemahaman sendiri tidak mampu melakukan fungsi spiritual yang aktif dan efektif.

Al-Qur'an mengecam orang terpelajar yang hampa karakter dalam kata-kata berikut,
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. (QS. al-Jumu'ah: 2-3)

Tekanan Islam pada pikiran dan renungan dalam segala situasi mengungkapkan pentingnya pemikiran dalam menjauhkan kemungkinan bahaya adat kebiasaan negatif dan dalam mem-bangun kekuatan perlawanan terhadap kebiasaan-kebiasaan keji, dan perlawanan terhadapnya. Pemikiran dan pembentukan gagasan yang bertujuan melawan kekuatan segala jenis kebiasaan jahil adalah kegiatan dan perjuangan yang bersemangat dan merupakan faktor penting yang memperkuat daya kemauan.

Berbagai jenis penyimpangan adalah sebenarnya akibat dari kegagalan untuk berpikir sehat dan logis. Secara mendasar, adalah karena kelalaian dan ketidakpedulian dalam berpikir maka banyak orang menyimpang dari jalan raya petunjuk untuk mengambil jalanjalan yang menyeleweng. Dari sini kita menyadari mengapa Islam memilih berpikir dan merenung sebagai tingkat peribadatan yang paling tinggi, yang lebih mengutamakan sesaat pemikiran yang sejati ketimbang tujuh puluh tahun peribadatan.

Hal itu adalah karena jenis pemikiran ini pada dasarnya menjadi penyebab bagi penghapusan kejahilan. Ia menyingkirkan tabir yang menyembunyikan kebenaran dan realitas dari ruhani manusia dan memberikan kedalaman dan keteguhan iman, dan dengan demikian tidak meninggalkan ruang bagi hojatan paham-paham sesat, adat kebiasan yang salah dan pengaruh negatif yang mungkin memasuki inti wujud manusia.

Ketika manusia sampai pada suatu fakta dan kebenaran mutlak sebagai hasil pemikiran dan renungan, ia mendapatkan suatu kekuatan kemauan yang merupakan hasil pemikiran sejati, bukan sesuatu yang didasarkan pada khayalan tak beralasan. Kemauan yang diperkuat ini memungkinkan dia mengendalikan perilakunya sendiri.

Berpikir mengubah nalar yang tak aktif menjadi nalar aktif dengan lahirnya gagasan-gagasan dan pikiran yang efektif yang mungkin sangat potensial.

Perangai moral yang baik dan buruk berakar di dalam batin manusia sebagai akibat latihan dan pengulangan. Walaupun semua itu adalah karakter yang diperoleh, pengaruhnya sama kuat dan menjangkau jauh sebagaimana sifat-sifat batin dan alami. Bilamana dibentuk oleh kebiasaan menjadi sifat dan perilaku yang stabil, dengan bekerja seperti naluri, sifat dan perilaku itu menimbulkan refleksi-refleksi batin yang dengan kuat mengarahkan perilaku manusia.


Imam Hasan al-'Askari berkata,
Meninggalkan kebiasaan adalah seperti suatu keajaiban.[17]

Munn, dalam buku psikologinya menulis,
Dalam suatu pembahasan sebelumnya kami telah merujuk kenyataan bahwa sebagian motif yang berkembang sehubungan dengan kebutuhan psikologis nampak berfungsi tanpa kaitan semacam itu di kalangan kehidupan dewasa. Mengutip Allport lagi, ikatan yang tinggal dalam kehidupan dewasa adalah "historis, bukan fungsional". Konsep ini juga telah diterapkan pula oleh Allport dan lain-lainnya pada membandelnya kebiasaan sekalipun motif-motif yang pada asalnya mendorong perbuatan itu tidak lagi bekerja. Nampaknya, ada saat-saatnya, bahwa kebiasaan itu sendiri telah mendapatkan status dorongan. Beberapa contoh yang mungkin diberikan tentang otonomi fungsional adalah membandelnya perilaku seksual setelah menopause, ketika kemungkinan pembuahan tidak ada lagi, membandelnya kegiatan bekerja setelah seseorang mengumpul-kan kekayaan dan mencapai kedudukan terhormat, dan dapat hidup untuk makan ketimbang hanya makan untuk hidup.

Dalam kebanyakan contoh dari otonomi fungsional yang nampak ada kemungkinan bahwa motif-motif baru telah menggantikan motif aslinya dan kebiasaan itu pada realitasnya bukanlah bekerja tanpa motivasi dari luar....

Dalam kasus-kasus otonomi fungsional... kebiasaan itu dibebaskan setidak-tidaknya dari motivasi aslinya. Kekuatan kebiasaan, di sisi lain, adalah membandelnya suatu cara khusus untuk memuaskan suatu motif tertentu. Misalnya, apabila seseorang secara teratur memuaskan rasa laparnya dengan memakan makanan yang dipersiapkan menurut suatu cara, seringkali ia menolak untuk memakan makanan yang diper-siapkan dengan cara lain.

Dengan kata lain, kebiasaan memaksa kita "menjadi roda". Fenomena ini sering dirujuk sebagai "paksaan kebiasaan" seakan-akan begitu kebiasaan itu terbentuk, bertindak seperti dorongan yang memaksa kita meneruskan cara-cara menurut kebiasaan ketimbang mengambil cara baru untuk memuaskan motif kita.

William James mungkin agak membesar-besarkan sifat permanen dari cara kebiasaan perilaku kita, kareaa orang sering mengubah prasangka mereka, dan clalam masa peperangan atau keadaan darurat lain, orang mengubah cara hidup mereka. Namun, biasanya ada perlawanan yang kuat terhadap perubahan. Barangsiapa ingin mengubah perilaku seorang dewasa ia harus mempertimbangkan kecenderimgannya untuk mempertahankan kebiasaan yang telah terbentuk, sekalipun kebiasaan-kebiasaan itu telah kehilangan mode atau berbahaya.[18]

Pendekatan Islam
Kebiasaan adalah suatu karunia yang memberkati alam insani dan mengarahkan sebagian yang bermakna dari usaha manusia dalam bidang baru dan inovatif. Namun, walau ada peranan besarnya, bila tidak disertai kesadaran ia mungkin mengambil bentuk kecenderungan mengicuh dan menyelewengkan, yang menghasilkan kerusakan dan penyelewengan ruhani.

Ketika Islam muncul di cakrawala Arabia Jahiliah, tempat itu didominasi oleh berbagai adat kebiasaan yang merugikan yang masing-masingnya saja sudah cukup untuk menghancurkan suatu bangsa.

Di masa kelam, ketika kesadaran dan nurani manusia digelap-kan oleh adat kebiasaan keji dan menyimpang, Islam, dengan lompatan besar, yang merupakan fenomena yang tak dikenal hingga masa itu, menggoncang masyarakat itu dari keadaan tidur dan kelalaiannya dengan menyeru manusia meninggalkan adat kebiasaan serta praktek-praktek yang tak masuk akal.

Suatu masyarakat yang tenggelam dalam berbagai adat takhayul dan keji membebaskan diri dari belenggu praktek-praktek salah dan tak masuk akal melalui ajaran Nabi Muhammad saw. Walaupun ia telah berkembang di suatu lingkungan yang kosong dari setiap pengaruh edukatif atau fomatif, ia segera meninggalkan seluruh adat kebiasaan dan cara-cara para leluhurnya lalu memulai suatu kehidupan baru yang bebas dari dominasi adat kebiasaan menyeleweng dan yang mengulurkan janji kebahagiaan dan kesenangan. Metode dari pendiri Islam itu dalam membebaskan manusia dari ikatan-ikatan lingkungan sosial yang telah melumpuh-kan kepekaannya lahir batin, menggantung daya rasionalnya dan menghalangi jalan pertumbuhannya; singkatnya, dengan menyingkirkan banyak tirai spiritual yang mengaburkan pandangan. Beliau meminta perhatian manusia kepada realitas-realitas yang nyata dan dapat diamati, terutama dengan mengandalkan daya nalar dan pikiran mereka, mendorong mereka meneruskan proses pemikiran yang terhenti dengan pertolongan argumentasi dan bukti-bukti. Dengan jalan ini mereka dapat melihat realitas dan kebenaran-kebenaran rasional, dan mengungkapkan fakta-fakta.

Pada akhirnya, dengan sarana lompatan besar sejarah, masya-rakat itu mampu membebaskan diri dari kehinaan adat kebiasaan takhayul yang keji, dan manusia dibebaskan dari kejahilan dan kesesatan yang jelas.

Di masa kegelapan itu tak ada kekuatan yang dapat menghadapi adat kebiasaan yang merusak, memutuskan cengkeraman takhayul, membuka pandangan baru di balik tembok-tembok adat kebiasaan yang ada, dan menghubungkan akal manusia dengan wawasan dan realitas.

Islam mengambil suatu strategi khusus sebelum membangun masyarakat bahagia yang akan menghancurkan kekuatan adat istiadat. Ini meliputi kebiasan-kebiasaan yang berhubungan dengan pikiran dan kepercayaan maupun hal-hal yang berhubungan dengan perangai dan perilaku. Kebiasan-kebiasaan yang relatif lebih merugikan dan berbahaya—seperti syirik—diserang pertama-tama dan dihapus dengan pukulan menentukan. Kebiasan-kebiasan sosial yang buruk lainnya, yang mencengekeram pada pikiran rakyat dan terkait dengan kondisi perekonomian—seperti perbudakan, lintah darat, minuman keras—dilakukan dengan pendekatan lebih lembut secara berangsur-angsur. Dalam hal ini, Islam mengambil strategi langkah demi langkah. Akibatnya, masyarakat menjadi terlatih secara berangsur-angsur dalam pengendalian diri, dan lahan pun terbuka sepenuhnya untuk penyucian dan pendidikan ruhani, dan inilah pendekatan yang paling berhasil bagi para individu dan masyarakat.

Alexis Carrel menulis,
Pertama-tama kita harus menyingkirkan rintangan di jalan pertumbuhan ruhani. Sebelum kita bergerak maju di jalan pendidikan, kita harus membuang adat-adat dan keburukan-keburukan yang melumpuhkan pertumbuhan ruhani. Tetapi, apa yang harus kita lakukan setelah rintangan-rintangan itu disingkirkan? Sesudah itu kita harus memulai perkembangan ruhani sesuai dengan kecenderungan hidup yang sejati.

Manusia mempunyai kelebihan yang mencengangkan sehingga ia dapat, apabila ia mau, membentuk tubuh dan jiwanya dengan pertolongan kesadarannya. Namun, tugas semacam itu menuntut taktik khusus.

Orang dapat belajar mengendalikan diri sebagaimana ia dapat belajar mengemudikan pesawat terbang. Hanya orang-orang yang berkuasa atas dirinya sendiri yang dapat melakukan latihan ini. Orang harus terpelajar atau cerdas untuk mendapat-kan pertumbuhan fisik. Yang diperlukan hanyalah kehendaknya yang sungguh-sungguh. Tak diragukan bahwa tak seorang pun dapat melakukan tugas itu sendirian; setiap orang memerlukan tuntunan dan nasihat pada suatu saat dalam hidupnya. Tetapi, dalam mengembangkan dan mengatur kegiatan intelektual dan emosional, yang merupakan hakikat kepribadian, orang tak dapat memanfaatkan pertolongan orang lain.

Prinsip pertama bukanlah perkembangan daya rasional melainkan pembangunan infrastruktur emosionalnya di mana faktor-faktor fisik lainnya didasarkan. Perlunya perilaku yang lebih baik tidaklah kurang kurang daripada bagi indera penglihatan dan pendengaran.[19]

Ali as berkata,
Pada permulaan, capailah pengendalian diri melalui pemantangan dari dosa dan kejelekan. Kemudian akan mudah bagi Anda membiasakan diri Anda pada ketaatan dan peribadatan kepada Tuhan, Raihlah pengendalian atas diri Anda dengan meninggalkan kebiasan-kebiasan (buruk), dan perangilah hawa nafsu Anda sehingga tunduk kepada kehendak kemauan Anda.[21]

Islam memanfaatkan kekuatan kebiasaan sebagai suatu sarana yang efektif bagi latihan ruhani manusia dan bagi penerapan program penciptaan kebahagiaannya. Begitu ia menciptakan ikatan yang hidup antara Tuhan dan hati manusia, dan menabur-kan di dalamnya benih kebajikan dan keutamaan manusia, ia mengubahnya menjadi kebiasaan. Semua kebiasaan keagamaan bersumber dari kerinduan batin dan inti dari jiwa manusia. Lalu kerinduan batin ini diubah menjadi perilaku dan praktek spesifik dengan sisi dan ciri-ciri yang dibataskan dengan jelas. Secara berangsur-angsur ia mengambil bentuk kebiasaan yang sadar berdasarkan kesadaran penuh. Pada saat yang sama perubahan dan transformasi itu menyelamatkan manusia dari latihan yang tak tertanggungkan dan sangat melelahkan.

Masa Kanak-kanak dan Kebiasaan
Anjuran Islam mengenai pembiasaan anak-anak secara berangsur-angsur dengan kewajiban agama dan kebajikan yang lebih tinggi, dan mengekang mereka dari perilaku dosa, merupakan sarana yang amat kuat untuk menciptakan fondasi keimanan dan takwa yang kukuh dan stabil dalam kepribadian ruhaninya. Penerapan program pendidikan semacam itu ke ukuran yang cukup besar akan menetralisasi efek-efek lingkungan di tahun-tahun kemudian.

Nabi saw berkata,
Biasakanlah anak-anak Anda salat ketika mereka mencapai usia tujuh tahun.[22]

Imam Zainal 'Abidin as-Sajjad as ketika menasihati anak-anaknya, berkata,
Janganlah berdusta dalam urusan besar maupun kecil, dalam senda gurau maupun percakapan serius, karena bilamana seseorang berdusta dalam soal-soal sepele maka ia akan terdorong untuk berdusta dalam urusan besar pula.[23]

Imam as-Shadiq as biasa mengatakan,
Berikanlah pendidikan agama kepada anak-anak Anda sedini mungkin dan sebelum lawan-lawan Anda mendahului Anda menanamkan gagasan-gagasan yang salah dan palsu dalam pikiran mereka.[24]

Bertrand Russel mengatakan,
Setiap kebiasaan buruk yang diperoleh adalah suatu rintangan bagi kebiasan yang lebih baik, itulah sebabnya maka sangat penting pembentukan pertama kebiasaan di usia dini kanak-kanak. Apabila kebiasan-kebiasaan pertama itu baik, kesulitan yang tak berkesudahan di kemudian hari dapat dicegah. Lagi pula, kebiasaan yang diperoleh sangat dini akan terasa di kehidupan nanti sebagai naluri; kebiasaan-kebiasan itu mempunyai cengkeraman yang sama kuat. Kebiasan-kebiasan baru yang bertentangan, yang diperoleh kemudian, tak dapat memperoleh kekuatan yang sama; karena alasan ini juga maka kebiasan-kebiasaan pertama harus menjadi keprihatinan yang sungguh-sungguh.

Keutamaan Manusia yang Paling Khas
Ada banyak dorongan yang berakar pada watak manusia yang masing-masingnya memainkan peranan penting dalam kesejahtera-an dan perkembangannya. Kekuatan terbesar yang menggerakkan roda kehidupan dan memotivasi para indhddu berasal dari dorongan yang bersumber di dalam dirinya.

Selama hayat dikandung badan, manusia tak berhenti berhasrat, dan api hawa nafsu terus menyala di dalam hatinya. Seluruh kesulitan yang berkelanjutan dan sakit yang dipikul dan ditanggungnya, adalah demi memuaskan hasrat-hasrat hatinya. Segera setelah satu hasrat hawa nafsunya dipenuhi, yang lainnya muncul dalam hatinya, mendorong tubuhnya untuk bertindak dan berusaha, dan memaksa dia memulai kegiatan dan usaha baru.

Manusia tak dapat menemukan jalan kebahagiaan semata-mata melalui bimbingan alami. Di sisi lain, hewan menempuh jalan perkembangannya melalui tuntunan bawa dengan mengandalkan naluri, yang dengan pertolongannya hewan mengatur dan mendi-siplinkan kehidupannya. Nalurilah yang menetapkan fungsi-fungsi setiap spesies hewan sesuai dengan hukum-hukumnya; mereka tidak memerlukan pendidikan dan latihan untuk mengetahui bagaimana mengatur kehidupannya. Namun, bagi manusia, naluri tidak mampu mengambil peran pengaturan itu dan melindungi dia dari penyimpangan dan kehancuran. Akal dan pikiranlah, tuntunan manusia yang terutama, yang membedakan dia dari hewan dalam menunjukkan kepadanya jalan kehidupan. Melalui akal dan pikiran manusialah dapat mengenali jalan kebahagia-annya dan mengarahkan usaha-usahanya ke tujuan itu, hingga ia mencapai tujuan tertinggi yang patut baginya.

Kafilah umat manusia maju dengan bimbingan akal dan pikiran dan dengan pertolongan nalarlah manusia menyelesaikan masalah-masalah kehidupannya, menaklukkan medan baru setiap hari dalam perjuangannya menghadapi permasalahan yang disodorkan alam. Di medan peperangan besar di dalam ruhani manusia selalu berlangsung suatu pertempuran alot antara akal dan naluri. Kedua kekuatan itu terlibat dalam pertempuran sengit di mana masing-masingnya berusaha menaklukkan yang lainnya. Supaya kita dapat mengambil manfaat dari kekuatan-kekuatan batin kita dan tetap aman dari kerugiannya, kita harus menakluk-kan naluri ke bawah dominasi akal, ke mana semua dorongan, impuls dan motif kita harus menyerah dalam ketaatan penuh. Akallah yang merupakan aset kita yang paling berharga yang mengungkapkan kepada kita bahaya-bahaya sesungguhnya yang kita hadapi dan memberikan kepada kita tatanan dan disiplin kepada kehidupan dengan mengajari kita jalan yang benar tentang penggunaan kekuatan batin kita.

Tentu saja, intensitas hawa nafsu tidak sama pada berbagai tahap kehidupan dan karakter, dan konfigurasi dari dorongan dan motif kita berubah-ubah menurut usia, kondisi dan keadaan.

Sebagaimana mungkin bagi manusia untuk meletakkan dasar-dasar kesejahteraannya pada basis akal dan kemauan tanpa mem-biarkan bahaya musuh internal mndominasi jiwanya, mungkin pula ia ditaklukkan oleh kekuatan dorongan-dorongan pemberontak dan pada akhirnya tenggelam di kancah gelap kerusakan dan kebusukan yang mengerikan. Dari itu apabila ia tertarik pada kesejahteraannya sendiri, ia harus membangun suatu perisai yang kukuh untuk melindungi jiwanya dari kejelekan dorongan-dorongan yang mengelabui, dan merencanakan jalannya sejak awal mula. Ia harus mengetahui ke mana akhir lorong yang ditempuh-nya sehingga dengan memberikan suatu sistem kepada pikiran-pikirannya ia dapat menjalani musim semi kehidupan dalam naungan kebajikan dan takwa; karena tanpa pengorbanan dan ketabahan, yang hakiki bagi kehidupan, tidaklah mungkin menja-lani kehidupan yang suci dan terhormat.

Orang yang memberikan kepedulian khusus pada prinsip-prinsip kebajikan manusia dari awal kehidupan rasionalnya akan terbiasa menjauhkan keburukan, dan mengembangkan kemam-puan spiritualnya sebaik-baiknya. Baginya kelanjutan dari kebijakan-nya pada tahap-tahap kehidupannya yang lebih dewasa akan lebih mudah. Setelah melewati dengan selamat medan-medan masa muda, bahaya penyelewengan akan berkurang, dan orang itu akan menjadi agak kebal dari pengaruh kerusakan.

Suatu kebebasan mutlak sekaitan dengan pemenuhan hasrat batin, selain meninggalkan kejahatan dan efek-efek yang tidak diinginkan padajiwa dan kepribadian individu, juga melemahkan fondasi-fondasi keamanan sosial sendiri. Dari itu, untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi, maupun untuk melindungi ketertiban masyarakat, perlulah kita mengabaikan sebagian dari hasrat hawa nafsu kita.

Alexis Carrel berkata,
Kita belum belajar untuk menyerah kepada hukum kehidupan sebagaimana kita menyerah kepada hukum alam tentang fisika dan gravitasi. Ada suatu konflik tragis antara kebebasan manusia dan hukum-hukum alam di mana manusia modern menjadi mangsanya, karena manusia menghendaki otonomi mutlak. Meskipun demikian, ia tak dapat memanfaat-kan kemerdekaannya melampaui batas-batas yang diperkenankan tanpa bahaya.

Kebebasan, seperti dinamit, adalah suatu sarana efektif tetapi berbahaya yang cara penggunaannya harus dipelajari. Untunglah, orang yang dapat memanfaatkannya adalah yang memiliki akal dan kemauan. Sesuai dengan itu, penyerahan kepada hukum alam ini melibatkan pembatasan kebebasan kehendak. Mustahil hidup tanpa tata tertib batin.

Konflik antara kebebasan manusia dan akibat-akibat dari hukum alam memestikan pendidikan disiplin diri. Supaya kita dapat menyelamatkan diri dan keturunan kita dari bencana kekacauan, kita harus melawan banyak keinginan, harapan dan hasrat kita. Keserasian dengan tatanan alam semesta tidak akan mungkin tercapai tanpa pengorbanan, dan pengorbanan adalah suatu hukum kehidupan. Adalah dengan menahan diri dari memenuhi sebagian hasrat maka kesehatan dan kekuatan kita dapat diamankan. Kebesaran, keindahan dan kesucian tak akan ada tanpa pengorbanan.

Setiap orang harus berkorban, karena berkorban adalah salah satu kebutuhan hidup. Kebutuhan itu muncul sejak masa ketika naluri menyerah kepada pikiran bebas pada diri nenek moyang kita. Setiap waktu manusia menggunakan kekebasan total, ia melanggar hukum-hukum alam dan menghadapi hukuman berat.[26]
Manusia Bergerak Ke Arah Kesempurnaan 2 Manusia Bergerak Ke Arah Kesempurnaan 2 Reviewed by Edi Sugianto on 15.31 Rating: 5

Tidak ada komentar:


kelas Gendam Online
Diberdayakan oleh Blogger.