Conscious Competence Learning Model
Terkait dengan artikel saya mengenai Ngemat (META DTI) yang saya tulis di sini dan di sini... Kali ini saya persembahkan ulasan lebih lengkap mengenai proses pembelajaran hingga sebuah skill dapat dikuasai sampai level MASTER. Salah satu model yang paling elegan guna menjelaskan dinamika pembelajaran individu adalah Conscious Competence Learning Matrix (CCLM). Model ini dikembangkan oleh Gordon Training International (GTI) pada sekitar tahun 1970-an. CCLM menjelaskan proses dan tahapan dari proses pembelajaran suatu kemampuan baru (prilaku, teknik atau yang lainnya). Model ini sering pula disebut sebagai ‘conscious competence learning model’ atau ‘conscious competence ladder’. Apapun sebutannya, CCLM merupakan penjelasan paling sederhana mengenai bagaimana individu belajar sekaligus menjelaskan bahwa pembelajaran pada individu terjadi dalam tahapan-tahapan.
CCLM dibagi menjadi empat tahapan;
Kebanyakan pengajar dan pelatih berasumsi bahwa individu pembelajar telah berada di tahap 2, dan mereka memfokuskan usahanya untuk pencapaian tahap 3. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah individu masih berada di tahap 1. Pelatih berasumsi bahwa individu telah menyadari keberadaan kemampuan, relevansi, kekurangan serta keuntungan yang ditawarkan dari akuisisi suatu kemampuan baru. Sementara yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya, individu masih berada di tahap 1 - unconscious competence – tidak memiliki berbagai hal tersebut, sehingga tentu saja tidak akan mampu mencapai tahap conscious competence. Di lain pihak, individu pun merasa bahwa dirinya tidak memiliki kekurangan atau kebutuhan pada kemampuan baru yang ditawarkan. Hal ini merupakan alasan utama dari kegagalan yang sering terjadi pada program pelatihan dan pengajaran.
Jika kesadaran akan kemampuan dan kekurangan relatif masih rendah atau bahkan tidak ada – misalnya individu berada pada kondisi unconscious incompetence – individu tidak mampu menyadari kebutuhan untuk belajar. Penting bagi pengajar untuk membangun kesadaran terkait kelemahan atau kebutuhan akan pelatihan yang ditawarkan (conscious incompetence) sebelum memberikan program pelatihan untuk memudahkan mengarahkan individu dari tahap 2 ke tahap 3.
Individu hanya merespon pada program pelatihan ketika telah menyadari kebutuhan akan program tersebut dan keuntungan personal yang dapat mereka peroleh.
Karakteristik masing-masing tahap
Perpindahan individu berawal dari kuadran 1 melalui kuadran 2, 3 dan berakhir di kuadran 4. Tidaklah mungkin melakukan lompatan tahapan yang dramatis, dari tingkat yang paling dasar menuju tingkat paling akhir. Namun demikian pada beberapa kemampuan, umumnya pada tingkat yang lanjut, sangat dimungkinkan bagi individu untuk mundur ke tahap sebelumnya, umumnya dari tahap 4 ke tahap 3, atau dari tahap 3 ke tahap 2, jika ia gagal melatih dan menguji kemampuan barunya. Individu yang mundur dari tahap 4, kembali ke tahap 3 dan 2, perlu mengembangkan kembali kemampuannya melalui tahap 3 guna mencapai tahap 4, unconscious competence. Pun demikian, pada beberapa jenis kemampuan, penguasaan hingga tahap 3, conscious competence dianggap telah cukup memadai.
Perkembangan dari tahap ke tahap sering kali diiringi dengan suatu sensasi pencerahan – ketika individu mendapati sensasi ‘aha’ – ketika individu merasa telah melakukan suatu lompatan besar.
Tentunya setiap individu memiliki preferensi. Setiap individu mendapati bahwa perkembangan ke tahap 3 atau tahap 4, lebih mudah pada beberapa kemampuan dibandingkan kemampuan lainnya. Beberapa individu ‘menolak’ berlanjut ke tahap 2, karena mereka menolak untuk menerima relevansi atau keuntungan dari suatu kemampuan. Tentu saja pada situasi ini individu tidak dapat berkembang ke tahap 3. Pelatih perlu menemukan strategi lain yang cocok untuk situasi ini.
Individu mengembangkan kompetensi hanya setelah mengenali relevansi dari ketidakmampuannya terkait suatu kemampuan.
Karakteristik dari masing-masing tahapan pembelajaran diberikan sebagai berikut:
Tahap 1: Unconscious incompetence
Dalam hal ini pak yan Nurindra juga mengupas hal ini dalam tulisannya yang berjudul :
Semuanya Nyaris Hanyalah Soal Kompetensi
Source : http://hipnotis.net
Kita sudah sangat akrab dengan kata “kompetensi”. Kompetensi biasanya menggambarkan suatu tingkat kemampuan yang telah melekat pada diri seseorang.
Sebagai suatu hal yang menggambarkan tingkat kemampuan, maka kompetensi juga mewakili proses pembelajaran dari tingkat terendah sampai dengan tingkat tertinggi.
Terdapat 4 tingkatan kompetensi, yaitu :
Ketika kita telah kencapai tingkatan “Unconscious Competence” untuk hal apapun juga, maka kita telah mencapai tingkatan “Master”, yaitu dapat melakukan hal dimaksud dengan “tanpa sadar”, atau berlangsung begitu saja, nyaris tanpa usaha yang berarti.
Contoh : Ketika kita dapat menyetir mobil, tanpa perlu berpikir kapan harus menginjak kopling, gas, rem, atau mengoper gigi, bermakna bahwa kita sudah mencapai tingkatan Unconscious Competence, atau kita sudah menjadi seorang “Master” dalam hal menyetir mobil.
Nah, sesungguhnya dalam kehidupan ini, kita semua adalah para “Master” di berbagai hal di kehidupan, mari kita amati sejenak diri kita dan sekeliling kita :
Jika kita adalah pribadi emosional dan sangat mudah marah dalam kesempatan apapun juga, maka sesungguhnya “kemampuan marah” kita sudah mencapai tahap “Unconscious Competence”, atau dengan kata lain kita adalah seorang “Master” di bidang ini.
Jika kita menemui seseorang yang sangat sabar, maka sesungguhnya ia telah mencapai tingkatan “Unconscious Competence”, sehingga untuk menjadi sabar ia nyaris tidak membutuhkan usaha apapun juga.
Jika anda adalah sosok yang mudah memperoleh rejeki, maka anda pastilah seorang “Master Kemakmuran”, anda telah mencapai kompetensi tertinggi, sehingga anda dengan mudah memperoleh rejeki, dengan usaha yang sangat minimal.
Jika anda cenderung mudah untuk mendapatkan musuh, bahkan dimana saja dan kapanpun juga dengan cepat anda memasuki situasi yang membuat anda selalu punya alasan untuk bermusuhan, maka andapun sudah menjadi seorang Master.
Mari kita sejenak mengingat kembali perjalanan hidup kita. Kondisi apakah yang sangat mudah bagi kita untuk mendapatkannya ? Bahkan tanpa usahapun kita dengan mudah mencapainya ? Bahkan banyak peristiwa “kebetulan” yang mengantarkan kita ke kondisi tersebut ? Ini adalah kemampuan kita yang telah mencapai tingkatan “Unconscious Competence”, entah sesungguhnya kita menginginkannya atau tidak !
Jika kita sering mengalami hal-hal negatif yang tidak kita inginkan dalam kehidupan kita, dimana hal ini selalu berlangsung dengan mudahnya, maka waspadalah, mungkin kita telah menjadi seorang Master untuk hal-hal semacam ini !
Berita baiknya, kini kitapun dapat mencapai apapun juga yang kita inginkan dalam kehidupan ini, karena sesungguhnya ini adalah persoalan kompetensi, dan kompetensi adalah sesuatu yang dapat diperjuangkan dan diraih, seperti halnya “menyetir mobil”.
CCLM dibagi menjadi empat tahapan;
- tahap 1 – ‘unconscious incompetence’
- tahap 2 – ‘conscious incompetence’;
- tahap 3 - ‘consicous competence’
- tahap 4 – ‘unconscious competence’.
Kebanyakan pengajar dan pelatih berasumsi bahwa individu pembelajar telah berada di tahap 2, dan mereka memfokuskan usahanya untuk pencapaian tahap 3. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah individu masih berada di tahap 1. Pelatih berasumsi bahwa individu telah menyadari keberadaan kemampuan, relevansi, kekurangan serta keuntungan yang ditawarkan dari akuisisi suatu kemampuan baru. Sementara yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya, individu masih berada di tahap 1 - unconscious competence – tidak memiliki berbagai hal tersebut, sehingga tentu saja tidak akan mampu mencapai tahap conscious competence. Di lain pihak, individu pun merasa bahwa dirinya tidak memiliki kekurangan atau kebutuhan pada kemampuan baru yang ditawarkan. Hal ini merupakan alasan utama dari kegagalan yang sering terjadi pada program pelatihan dan pengajaran.
Jika kesadaran akan kemampuan dan kekurangan relatif masih rendah atau bahkan tidak ada – misalnya individu berada pada kondisi unconscious incompetence – individu tidak mampu menyadari kebutuhan untuk belajar. Penting bagi pengajar untuk membangun kesadaran terkait kelemahan atau kebutuhan akan pelatihan yang ditawarkan (conscious incompetence) sebelum memberikan program pelatihan untuk memudahkan mengarahkan individu dari tahap 2 ke tahap 3.
Individu hanya merespon pada program pelatihan ketika telah menyadari kebutuhan akan program tersebut dan keuntungan personal yang dapat mereka peroleh.
Karakteristik masing-masing tahap
Perpindahan individu berawal dari kuadran 1 melalui kuadran 2, 3 dan berakhir di kuadran 4. Tidaklah mungkin melakukan lompatan tahapan yang dramatis, dari tingkat yang paling dasar menuju tingkat paling akhir. Namun demikian pada beberapa kemampuan, umumnya pada tingkat yang lanjut, sangat dimungkinkan bagi individu untuk mundur ke tahap sebelumnya, umumnya dari tahap 4 ke tahap 3, atau dari tahap 3 ke tahap 2, jika ia gagal melatih dan menguji kemampuan barunya. Individu yang mundur dari tahap 4, kembali ke tahap 3 dan 2, perlu mengembangkan kembali kemampuannya melalui tahap 3 guna mencapai tahap 4, unconscious competence. Pun demikian, pada beberapa jenis kemampuan, penguasaan hingga tahap 3, conscious competence dianggap telah cukup memadai.
Perkembangan dari tahap ke tahap sering kali diiringi dengan suatu sensasi pencerahan – ketika individu mendapati sensasi ‘aha’ – ketika individu merasa telah melakukan suatu lompatan besar.
Tentunya setiap individu memiliki preferensi. Setiap individu mendapati bahwa perkembangan ke tahap 3 atau tahap 4, lebih mudah pada beberapa kemampuan dibandingkan kemampuan lainnya. Beberapa individu ‘menolak’ berlanjut ke tahap 2, karena mereka menolak untuk menerima relevansi atau keuntungan dari suatu kemampuan. Tentu saja pada situasi ini individu tidak dapat berkembang ke tahap 3. Pelatih perlu menemukan strategi lain yang cocok untuk situasi ini.
Individu mengembangkan kompetensi hanya setelah mengenali relevansi dari ketidakmampuannya terkait suatu kemampuan.
Karakteristik dari masing-masing tahapan pembelajaran diberikan sebagai berikut:
Tahap 1: Unconscious incompetence
- Individu tidak menyadari kehadiran atau relevansi terkait suatu kemampuan
- Individu tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki kekurangan terkait suatu kemampuan
- Individu mungkin menolak relevansi atau kegunaan dari suatu kemampuan
- Individu harus terlebih dahulu sadar akan ketidakmampuannya sebelum pengembangan kemampuan baru dapat dimulai
- Tujuan dari individu dan pelatih adalah memindahkan individu ke tahap ‘conscious competence’, dan menunjukan kebutuhan dan manfaat dari kemampuan baru
- Individu sadar akan keberadaan dan relevansi dari suatu kemampuan
- Individu sadar akan kekurangannya terkait kemampuan baru dan idealnya akan mencoba melakukannya
- Individu menyadari dengan memahami kemampuan baru yang ditawarkan dapat meningkatkan efektifitasnya
- Idealnya individu memiliki pemahaman mengenai kekurangannya pada suatu kemampuan dan pada level mana kemampuan tersebut dibutuhkannya.
- Individu idealnya membuat komitmen untuk mempelajari dan melatih kemampuan barunya, dan berpindah ke tahap selanjutnya, ‘conscious competence’
- Individu mampu melakukan kemampuan baru secara diniatkan
- Individu membutuhkan konsentrasi dan berpikir dalam melakukan suatu kemampuan
- Individu telah mampu melakukan suatu kemampuan tanpa dibantu
- Individu tidak akan mampu melakukan suatu kemampuan sebelum memikirkannya terlebih dahulu – kemampuan tersebut belum menjadi ‘kebiasaan baru’ atau dapat berlangsung secara otomatis
- Individu mampu melakukan suatu kemampuan dan mempertunjukannya pada individu lain, namun belum mampu mengajarkannya secara optimal
- Individu idealnya perlu terus melatih kemampuan barunya, dan melakukannya terus hingga ke tahap ‘unconscious competent’
- Penggunaan berkelanjutan merupakan cara yang paling efektif untuk berlanjut dari tahap 3 ke tahap 4
- Kemampuan telah menjadi sangat terlatih hingga mampu berpenetrasi ke pikiran luar sadar dan menjadi kebiasaan baru
- Contoh yang awam terkait tahapan ini adalah kemampuan menyetir, aktifitas olahraga, mengetik, keterampilan tangan, mendengarkan dan komunikasi
- Sangat dimungkinkan untuk melakukan suatu kemampuan sementara melakukan aktifitas lain, misalnya merajut sambil bernyanyi dan mendengarkan musik, melakukan pengingatan yang dramatis sementara terlibat dalam perbincangan
- Individu mampu mengajarkan kemampuannya pada individu lain, walaupun setelah periode waktu tertentu di tahap unconscious competent individu mengalami sedikit kesukaran untuk menjelaskan struktur dari kebiasaannya, karena kemampuan tersebut telah menjadi suatu yang instingtif
- Hal ini mengharuskan individu untuk selalu mengevaluasi kemampuannya menggunakan standar yang diperbaharui (umumnya lebih tinggi).
Dalam hal ini pak yan Nurindra juga mengupas hal ini dalam tulisannya yang berjudul :
Semuanya Nyaris Hanyalah Soal Kompetensi
Source : http://hipnotis.net
Kita sudah sangat akrab dengan kata “kompetensi”. Kompetensi biasanya menggambarkan suatu tingkat kemampuan yang telah melekat pada diri seseorang.
Sebagai suatu hal yang menggambarkan tingkat kemampuan, maka kompetensi juga mewakili proses pembelajaran dari tingkat terendah sampai dengan tingkat tertinggi.
Terdapat 4 tingkatan kompetensi, yaitu :
- Unconscious Incompetence : Tidak menyadari bahwa tidak mampu
- Conscious Incompetence : Menyadari bahwa tidak mampu
- Conscious Competence : Menyadari bahwa mampu
- Unconscious Competence : Tidak menyadari bahwa mampu
Ketika kita telah kencapai tingkatan “Unconscious Competence” untuk hal apapun juga, maka kita telah mencapai tingkatan “Master”, yaitu dapat melakukan hal dimaksud dengan “tanpa sadar”, atau berlangsung begitu saja, nyaris tanpa usaha yang berarti.
Contoh : Ketika kita dapat menyetir mobil, tanpa perlu berpikir kapan harus menginjak kopling, gas, rem, atau mengoper gigi, bermakna bahwa kita sudah mencapai tingkatan Unconscious Competence, atau kita sudah menjadi seorang “Master” dalam hal menyetir mobil.
Nah, sesungguhnya dalam kehidupan ini, kita semua adalah para “Master” di berbagai hal di kehidupan, mari kita amati sejenak diri kita dan sekeliling kita :
Jika kita adalah pribadi emosional dan sangat mudah marah dalam kesempatan apapun juga, maka sesungguhnya “kemampuan marah” kita sudah mencapai tahap “Unconscious Competence”, atau dengan kata lain kita adalah seorang “Master” di bidang ini.
Jika kita menemui seseorang yang sangat sabar, maka sesungguhnya ia telah mencapai tingkatan “Unconscious Competence”, sehingga untuk menjadi sabar ia nyaris tidak membutuhkan usaha apapun juga.
Jika anda adalah sosok yang mudah memperoleh rejeki, maka anda pastilah seorang “Master Kemakmuran”, anda telah mencapai kompetensi tertinggi, sehingga anda dengan mudah memperoleh rejeki, dengan usaha yang sangat minimal.
Jika anda cenderung mudah untuk mendapatkan musuh, bahkan dimana saja dan kapanpun juga dengan cepat anda memasuki situasi yang membuat anda selalu punya alasan untuk bermusuhan, maka andapun sudah menjadi seorang Master.
Mari kita sejenak mengingat kembali perjalanan hidup kita. Kondisi apakah yang sangat mudah bagi kita untuk mendapatkannya ? Bahkan tanpa usahapun kita dengan mudah mencapainya ? Bahkan banyak peristiwa “kebetulan” yang mengantarkan kita ke kondisi tersebut ? Ini adalah kemampuan kita yang telah mencapai tingkatan “Unconscious Competence”, entah sesungguhnya kita menginginkannya atau tidak !
Jika kita sering mengalami hal-hal negatif yang tidak kita inginkan dalam kehidupan kita, dimana hal ini selalu berlangsung dengan mudahnya, maka waspadalah, mungkin kita telah menjadi seorang Master untuk hal-hal semacam ini !
Berita baiknya, kini kitapun dapat mencapai apapun juga yang kita inginkan dalam kehidupan ini, karena sesungguhnya ini adalah persoalan kompetensi, dan kompetensi adalah sesuatu yang dapat diperjuangkan dan diraih, seperti halnya “menyetir mobil”.
Conscious Competence Learning Model
Reviewed by Edi Sugianto
on
01.50
Rating:
Tidak ada komentar: